Pengusaha Wajib Sadar Hak Cipta
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corporate Counsel Association (ICCA) dan Kementerian Perdagangan meminta pengusaha agar lebih sadar dan patuh pada aturan hak kekayaan intelektual (HKI). Hal itu dinilai akan meningkatkan daya saing produk Indonesia dan internasional.
Dewan Penasihat ICCA, Widyaretna, menyatakan, kesadaran dan kepatuhan pada aturan HKI kini bahkan mutlak dimiliki oleh produsen yang mengekspor produknya ke Amerika Serikat. Sebab, Negeri Abang Sam sejak 2011 telah memberlakukan Unfair Competition Act sebagai upaya perlindungan terhadap HKI.
"Penegakan dan perlindungan terhadap HKI ini menjadi salah satu kunci bagi dunia usaha Indonesia agar dapat bersaing di dunia internasional, terutama Amerika Serikat," kata Widyaretna dalam diskusi di Hotel Intercontinental, Jakarta, 14 November 2013.
Hal itu juga diakui oleh Kepala Sub-Direktorat Kerja Sama Bilateral Amerika Kementerian Perdagangan, Olvy Adrianita. Menurut dia, Unfair Competition Act yang diterapkan di Amerika Serikat mewajibkan penggunaan sistem informasi legal dalam semua proses mulai produksi, distribusi, sampai pemasaran. "Hal ini perlu diperhatikan mengingat Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor ketiga terbesar setelah Cina dan Jepang," ujarnya.
Sebagai catatan, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat selama Januari hinga Juli 2013 adalah US$ 9,028 miliar atau mencapai 10,31 persen dari total ekspor dalam periode yang sama.
Ketua Komite Kerja Sama Indonesia-Amerika Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chrisma Albandjar juga mengakui hal tersebut. Menurutnya, beberapa negara bagian seperti Tennessee, California, Massachusetts dan Washington telah melakukan tindakan hukum terhadap eksportir asal Thailand, India, Cina, dan Brasil yang diduga menggunakan teknologi informasi ilegal dalam proses produksinya. "Kita tentu tidak ingin seperti itu," ujarnya.
Kasus yang terakhir diikutinya terjadi pada Januari 2013 lalu saat negara bagian California menggugat perusahaan garmen asal Cina dan India. Kedua perusahaan yang terbukti melanggar hak cipta itu konon didenda US$ 250 ribu atas kesalahannya. "Ini peringatan bagi kami," kata Chrisma.
Chrisma berjanji akan terus mengajak para pengusaha, terutama yang bergerak dalam produksi tekstil untuk mengurus paten baik motif maupun desain produk mereka. Meski pendaftaran paten ini bisa menghabiskan biaya hingga jutaan rupiah, pengeluaran itu dinilai sebagai investasi jangka panjang untuk menembus pasar internasional.
Dewan Penasihat ICCA, Widyaretna, menyatakan, kesadaran dan kepatuhan pada aturan HKI kini bahkan mutlak dimiliki oleh produsen yang mengekspor produknya ke Amerika Serikat. Sebab, Negeri Abang Sam sejak 2011 telah memberlakukan Unfair Competition Act sebagai upaya perlindungan terhadap HKI.
"Penegakan dan perlindungan terhadap HKI ini menjadi salah satu kunci bagi dunia usaha Indonesia agar dapat bersaing di dunia internasional, terutama Amerika Serikat," kata Widyaretna dalam diskusi di Hotel Intercontinental, Jakarta, 14 November 2013.
Hal itu juga diakui oleh Kepala Sub-Direktorat Kerja Sama Bilateral Amerika Kementerian Perdagangan, Olvy Adrianita. Menurut dia, Unfair Competition Act yang diterapkan di Amerika Serikat mewajibkan penggunaan sistem informasi legal dalam semua proses mulai produksi, distribusi, sampai pemasaran. "Hal ini perlu diperhatikan mengingat Amerika Serikat merupakan negara tujuan ekspor ketiga terbesar setelah Cina dan Jepang," ujarnya.
Sebagai catatan, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat selama Januari hinga Juli 2013 adalah US$ 9,028 miliar atau mencapai 10,31 persen dari total ekspor dalam periode yang sama.
Ketua Komite Kerja Sama Indonesia-Amerika Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chrisma Albandjar juga mengakui hal tersebut. Menurutnya, beberapa negara bagian seperti Tennessee, California, Massachusetts dan Washington telah melakukan tindakan hukum terhadap eksportir asal Thailand, India, Cina, dan Brasil yang diduga menggunakan teknologi informasi ilegal dalam proses produksinya. "Kita tentu tidak ingin seperti itu," ujarnya.
Kasus yang terakhir diikutinya terjadi pada Januari 2013 lalu saat negara bagian California menggugat perusahaan garmen asal Cina dan India. Kedua perusahaan yang terbukti melanggar hak cipta itu konon didenda US$ 250 ribu atas kesalahannya. "Ini peringatan bagi kami," kata Chrisma.
Chrisma berjanji akan terus mengajak para pengusaha, terutama yang bergerak dalam produksi tekstil untuk mengurus paten baik motif maupun desain produk mereka. Meski pendaftaran paten ini bisa menghabiskan biaya hingga jutaan rupiah, pengeluaran itu dinilai sebagai investasi jangka panjang untuk menembus pasar internasional.
https://bisnis.tempo.co/read/news/2013/11/14/090529650/pengusaha-wajib-sadar-hak-cipta
Pendapat
saya setuju dengan kebijakan ICCA dan kementrian perdagangan untuk sadar dan patuh pada Hak Kelayakan Intelektual, karena perusahaan yang menjual (ekspor) produknya ke negara luar itu berarti membawa citra dan nama Indonesia. Karena jika perusahaan dalam negri melanggar peraturan-peraturan yang ada, bukan hanya membuat negara merugi secara materi, tapi citra bangsa Indonesia ikut rusak. Dengan mengikuti peraturan HKI dan standart negara tujuan membuat citra bangsa Indonesia semakin bagus dan semakin dipercaya, karena saya yakin produk dalam negri tidak kalah saing dengan produk luar.
Perusahaan juga harus mau mengurus hak pates dari motif dan desain, serta logo perusahaannya, agar produk-produk dalam negri tidak dianggap sepele dimata luar dan tidak merugi jika seketika produk luar mengklaim desain/motif/logo perusahaan dalam negri
melekhukumindustri.blogspot.co.id/2016/03/pengusaha-wajib-sadar-hak-cipta-kamis.html





